KOMISI Hak Asasi Manusia Nasional (Komnas HAM) mengungkapkan pembantaian warga di Mesuji di Lampung dan Sumatra Selatan terjadi secara sporadis dan sistematis sejak 2010. "Setiap perusahaan punya konflik masing-masing dengan warga, kejadiannya berbeda-beda," ujar Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim di kantornya, Jakarta, kemarin.
Dia menjelaskan pembunuhan keji terhadap petani itu akibat sengketa tanah yang melibatkan tiga perusahaan, yakni PT Silva Inhutani, PT Barat Selatan Makmur Investindo (PT BSMI), dan PT Sumber Wangi Alam (PT SWA).
"Yang paling banyak konflik dengan warga ialah PT Silva. Konflik terjadi di beberapa lokasi, tetapi berdekatan," paparnya.
Menurutnya, PT Silva mengusir ribuan warga dari perkampungan tempat tinggal mereka di lima desa di Mesuji. Hal itu terjadi sejak hak guna usaha (HGU) perusahaan perkebunan itu bertambah dari 35 ribu hektare (ha) menjadi 45 ribu ha, beberapa tahun lalu. Awalnya, HGU yang mereka beli dari Perhutani hanya sekitar 35 ribu ha.
"Perusahaan mungkin tidak tahu ada perkampungan warga di situ. Akhirnya perusahaan membentuk tim terpadu yang terdiri dari pamswakarsa, aparat Brimob, dan TNI untuk mengusir warga. Pamswakarsa berada di depan dibantu aparat," katanya.
Sejauh ini Komnas HAM belum bisa memastikan jumlah korban dari aksi pelanggaran HAM berat itu. "Kami belum bisa merinci secara pasti data jumlah korbannya," ujarnya.
Menurut warga di Mesuji dalam pengaduannya ke Komisi III DPR (14/12), korban tewas mencapai 30 orang dan ratusan lainnya luka-luka (Media Indonesia, 15/12).
Mengenai dugaan keterlibatan aparat, Ifdhal belum berani memastikannya. "Indikasi ke arah itu ada. Namun, hal ini perlu investigasi," tandasnya.
Kolaborasi
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan pembantaian di Mesuji merupakan kolaborasi antara aparat keamanan dan pebisnis. "Yang harus diusut itu soal pamswakarsa. Kenapa polisi di sana membolehkan pamswakarsa memegang senjata," ujar Koordinator Kontras Haris Azhar.
Pada bagian lain, Indonesian Police Watch (IPW) menyimpulkan kasus tersebut tidak mendapat perhatian serius dari polisi meski warga setempat dan LSM sudah berteriak. "Kapolda Lampung yang saat itu menjabat harus dimintai pertanggungjawabannya. Ada semacam pembiaran terhadap pembantaian," kata Presidium IPW Neta S Pane.
Dia menjelaskan pembunuhan keji terhadap petani itu akibat sengketa tanah yang melibatkan tiga perusahaan, yakni PT Silva Inhutani, PT Barat Selatan Makmur Investindo (PT BSMI), dan PT Sumber Wangi Alam (PT SWA).
"Yang paling banyak konflik dengan warga ialah PT Silva. Konflik terjadi di beberapa lokasi, tetapi berdekatan," paparnya.
Menurutnya, PT Silva mengusir ribuan warga dari perkampungan tempat tinggal mereka di lima desa di Mesuji. Hal itu terjadi sejak hak guna usaha (HGU) perusahaan perkebunan itu bertambah dari 35 ribu hektare (ha) menjadi 45 ribu ha, beberapa tahun lalu. Awalnya, HGU yang mereka beli dari Perhutani hanya sekitar 35 ribu ha.
"Perusahaan mungkin tidak tahu ada perkampungan warga di situ. Akhirnya perusahaan membentuk tim terpadu yang terdiri dari pamswakarsa, aparat Brimob, dan TNI untuk mengusir warga. Pamswakarsa berada di depan dibantu aparat," katanya.
Sejauh ini Komnas HAM belum bisa memastikan jumlah korban dari aksi pelanggaran HAM berat itu. "Kami belum bisa merinci secara pasti data jumlah korbannya," ujarnya.
Menurut warga di Mesuji dalam pengaduannya ke Komisi III DPR (14/12), korban tewas mencapai 30 orang dan ratusan lainnya luka-luka (Media Indonesia, 15/12).
Mengenai dugaan keterlibatan aparat, Ifdhal belum berani memastikannya. "Indikasi ke arah itu ada. Namun, hal ini perlu investigasi," tandasnya.
Kolaborasi
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan pembantaian di Mesuji merupakan kolaborasi antara aparat keamanan dan pebisnis. "Yang harus diusut itu soal pamswakarsa. Kenapa polisi di sana membolehkan pamswakarsa memegang senjata," ujar Koordinator Kontras Haris Azhar.
Pada bagian lain, Indonesian Police Watch (IPW) menyimpulkan kasus tersebut tidak mendapat perhatian serius dari polisi meski warga setempat dan LSM sudah berteriak. "Kapolda Lampung yang saat itu menjabat harus dimintai pertanggungjawabannya. Ada semacam pembiaran terhadap pembantaian," kata Presidium IPW Neta S Pane.
Sumber: Media Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar